BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di negara-negara maju, terdapat unsur-unsur kebudayaan yang dapat menunjang tingginya status kesehatan masyarakat seperti pendidikan yang optimal, keadaan sosial-ekonomi yang tinggi, dan kesehatan lingkungan yang baik. Dengan demikian, pelayanan kesehatan menjadi sangat khusus sehingga dapat memenuhi kebutuhan klien.
Sebaliknya, di negara berkembang seperti Indonesia, unsur-unsur kebudayaan yang ada kurang menunjang pencapaian status kesehatan yang optimal. Unsur-unsur tersebut antara lain; ketidaktahuan, pendidikan yang minim sehingga sulit menerima informasi-informasi dan tekhnologi baru.
Mengingat keadaan tersebut, kita perlu memperhatikan aspek sosial budaya masyarakat dalam kaitannya dengan keadaan kesehatan di Indonesia. Sehingga kita dapat melihat penyakit atau masalah kesehatan bukan saja dari sudut gejala, sebab-sebabnya, wujud penyakit, obat dan cara menghilangkan penyakit, tetapi membuat kita untuk berfikir tentang bagaimana hubungan sosial budaya, geografi, demografi, dan persepsi masyarakat dengan masalah yang sedang dihadapi.
Melihat luasnya masalah kesehatan yang dihadapi, maka bidan sebagai petugas kesehatan harus mempelajari ilmu-ilmu lain yang terkait dengan kesehatan. Sehingga pelayanan yang diberikan memberikan hasil yang optimal.
1.2 Tujuan Makalah
Untuk mengetahui aspek sosial budaya yang berkaitan dengan peran seorang bidan.
1.3 Rumusan Masalah
1. Bagaimana aspek Sosial Budaya yang Berkaitan dengan Pra Perkawinan dan Perkawinan?
2. Bagaimana aspek Sosial Budaya yang Berkaitan dengan Kehamilan?
3. Bagaimana aspek Sosial Budaya yang Berkaitan dengan Kelahiran, Nifas dan Bayi Baru Lahir?
4. Bagaimana pendekatan Melalui Budaya dan Kegiatan Kebudayaan Kaitannya dengan Peran Seorang Bidan?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Aspek Sosial Budaya yang Berkaitan dengan Pra Perkawinan dan Perkawinan
2.1.1 Pra Perkawinan
Pelayanan kebidanan diawali dengan pemeliharaan kesehatan para calon ibu. Remaja wanita yang akan memasuki jenjang perkawinan perlu dijaga kondisi kesehatannya. Kepada para remaja di beri pengertian tentang hubungan seksual yang sehat, kesiapan mental dalam menghadapi kehamilan dan pengetahuan tentang proses kehamilan dan persalinan, pemeliharaan kesehatan dalam masa pra dan pasca kehamilan.
Pemeriksaan kesehatan bagi remaja yang akan menikah dianjurkan. Tujuan dari pemeriksaan tersebut adalah untuk mengetahui secara dini tentang kondisi kesehatan para remaja. Bila ditemukan penyakit atau kelainan di dalam diri remaja, maka tindakan pengobatan dapat segera dilakukan. Bila penyakit atau kelainan tersebut tidak diatasi maka diupayakan agar remaja tersebut berupaya untuk menjaga agar masalahnya tidak bertambah berat atau menular kepada pasangannya.
Selain itu peran seorang bidan dalam memberikan pengertian resiko tinggi bagi remaja untuk kawin muda. Perkawinan dini atau kawin muda masih menjadi masalah penting dalam kesehatan reproduksi perempuan di Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) mencatat, anak perempuan yang menikah pertama kali pada usia sangat muda, 10-14 tahun, cukup tinggi, jumlahnya 4,8 persen dari jumlah perempuan usia 10-59 tahun. Sedangkan yang menikah dalam rentang usia 16-19 tahun berjumlah 41,9 persen. Dengan demikian, hampir 50 persen perempuan Indonesia menikah pertama kali pada usia di bawah 20 tahun. Provinsi dengan persentase perkawinan dini tertinggi adalah Kalimantan Selatan (9 persen), Jawa Barat (7,5 persen), serta Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah masing-masing 7 persen. Hal ini sangat berhubungan dengan faktor sosial budaya pada daerah tersebut dan banyak terjadi pada perempuan di pedesaan, berpendidikan rendah, berstatus ekonomi termiskin, serta berasal dari kelompok buruh, petani, dan nelayan.
2.1.2 Perkawinan
Pekawinan bukan hanya sekedar hubungan antara suami dan istri. Perkawinan memberikan buah untuk menghasilkan turunan. Bayi yang dilahirkan juga adalah bayi yang sehat dan direncanakan.
Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang meliputi pelayanan ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, keluarga berencana, kesehatan reproduksi, pemeriksaan bayi, anak balita dan anak prasekolah sehat. Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak tersebut diyakini memerlukan pengetahuan aspek sosial budaya dalam penerapannya kemudian melakukan pendekatan-pendekatan untuk melakukan perubahan-perubahan terhadap kebiasaan-kebiasaan yang tidak mendukung peningkatan kesehatan ibu dan anak. Misalnya di Jawa Tengah adanya anggapan bahwa ibu hamil pantang makan telur karena akan mempersulit persalinan dan pantang makan daging karena akan menyebabkan perdarahan yang banyak. Jawa Barat ibu yang kehamilannya memasuki 8-9 bulan sengaja harus mengurangi makannya agar bayi yang dikandungnya kecil dan mudah dilahirkan, Masyarakat Betawi berlaku pantangan makan ikan asin, ikan laut, udang dan kepiting karena dapat menyebabkan ASI menjadi asin. Sikap seperti ini akan berakibat buruk bagi ibu hamil karena akan membuat ibu dan anak kurang gizi.
2.2 Aspek Sosial Budaya yang Berkaitan dengan Kehamilan
Perawatan kehamilan merupakan salah satu faktor yang amat perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan kematian ketika persalinan, disamping itu juga untuk menjaga pertumbuhan dan kesehatan janin. Memahami perilaku perawatan kehamilan (ante natal care) adalah penting untuk mengetahui dampak kesehatan bayi dan si ibu sendiri. Di berbagai kalangan masyarakat di Indonesia, masih banyak ibu-ibu yang menganggap kehamilan sebagai hal yang biasa, alamiah dan kodrati. Mereka merasa tidak perlu memeriksakan dirinya secara rutin ke bidan ataupun dokter. Masih banyaknya ibu-ibu yang kurang menyadari pentingnya pemeriksaan kehamilan ke bidan menyebabkan tidak terdeteksinya faktor-faktor resiko tinggi yang mungkin dialami oleh mereka. Hal ini disebabkan faktor sosial budaya yang masih mengandalkan kebiasaan-kebiasaan turun-temurun dari orang tua.
Permasalahan lain yang cukup besar pengaruhnya pada kehamilan adalah masalah gizi. Hal ini disebabkan karena adanya kepercayaan-kepercayaan dan pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan. Sementara, kegiatan mereka sehari-hari tidak berkurang ditambah lagi dengan pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan yang sebenamya sangat dibutuhkan oleh wanita hamil tentunya akan berdampak negatif terhadap kesehatan ibu dan janin. Tidak heran kalau anemia dan kurang gizi pada wanita hamil cukup tinggi terutama di daerah pedesaan.
Di Jawa Tengah, ada kepercayaan bahwa ibu hamil pantang makan telur karena akan mempersulit persalinan dan pantang makan daging karena akan menyebabkan perdarahan yang banyak. Sementara di salah satu daerah di Jawa Barat, ibu yang kehamilannya memasuki 8-9 bulan sengaja harus mengurangi makannya agar bayi yang dikandungnya kecil dan mudah dilahirkan. Akibatnya, ibu kurang gizi, berat badan bayi yang dilahirkan juga rendah. Hal ini sangat mempengaruhi daya tahan dan kesehatan si bayi.
2.3 Aspek Sosial Budaya yang Berkaitan dengan Kelahiran, Nifas dan Bayi Baru Lahir
Masih tingginya angka kematian ibu dan anak di Indonesia berkaitan erat dengan faktor sosial budaya masyarakat, seperti tingkat pendidikan penduduk, khususnya wanita dewasa yang masih rendah, keadaan sosial ekonomi yang belum memadai, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan yang masih rendah dan jauhnya lokasi tempat pelayanan kesehatan dari rumah-rumah penduduk kebiasaan-kebiasaan dan adat istiadat dan perilaku masyarakat yang kurang menunjang dan lain sebagainya.
Kebiasaan-kebiasaan adat istiadat dan perilaku masyarakat sering kali merupakan penghalang atau penghambat terciptanya pola hidup sehat di masyarakat. Perilaku, kebiasaan, dan adat istiadat yang merugikan seperti misalnya: ibu hamil dilarang tidur siang karena takut bayinya besar dan akan sulit melahirkan, ibu menyusui dilarang makan makanan yang asin, misalnya: ikan asin, telur asin karena bisa membuat ASI jadi asin, Ibu habis melahirkan dilarang tidur siang, bayi berusia 1 minggu sudah boleh diberikan nasi atau pisang agar mekoniumnya cepat keluar, ibu post partum harus tidur dengan posisi duduk atau setengah duduk karena takut darah kotor naik ke mata, ibu yang mengalami kesulitan dalam melahirkan, rambutnya harus diuraikan dan persalinan yang dilakukan di lantai, diharapkan ibu dapat dengan mudah melahirkan, bayi baru lahir yang sedang tidur harus ditemani dengan benda-benda tajam.
Selain pada masa hamil, pantangan-pantangan atau anjuran masih diberlakukan juga pada masa pasca persalinan. Pantangan ataupun anjuran ini biasanya berkaitan dengan proses pemulihan kondisi fisik misalnya, ada makanan tertentu yang sebaiknya dikonsumsi untuk memperbanyak produksi ASI; ada pula makanan tertentu yang dilarang karena dianggap dapat mempengaruhi kesehatan bayi. Secara tradisional, ada praktek-praktek yang dilakukan oleh dukun beranak untuk mengembalikan kondisi fisik dan kesehatan si ibu. Misalnya mengurut perut yang bertujuan untuk mengembalikan rahim ke posisi semula; memasukkan
ramuan-ramuan seperti daun-daunan kedalam vagina dengan maksud untuk membersihkan darah dan cairan yang keluar karena proses persalinan; atau memberi jamu tertentu untuk memperkuat tubuh (Iskandar et al., 1996).
ramuan-ramuan seperti daun-daunan kedalam vagina dengan maksud untuk membersihkan darah dan cairan yang keluar karena proses persalinan; atau memberi jamu tertentu untuk memperkuat tubuh (Iskandar et al., 1996).
Disini peran bidan sangat diperlukan dalam memberikan informasi yang tepat untuk mempersiapkan mental dan fisik ibu hamil dalam menghadapi pesalinan dan pasca persalinan.
2.4 Pendekatan Melalui Budaya dan Kegiatan Kebudayaan Kaitannya dengan Peran Seorang Bidan
Bidan sebagai salah seorang anggota tim kesehatan yang terdekat dengan masyarakat, mempunyai peran yang sangat menentukan dalam meningkatkan status kesehatan masyarakat, khususnya kesehatan ibu dan anak di wilayah kerjanya.
Seorang bidan harus mampu menggerakkan peran serta masyarakat khususnya, berkaitan dengan kesehatan ibu hamil, ibu bersalin, bufas, bayi baru lahir, anak remaja dan usia lanjut. Seorang bidan juga harus memiliki kompetensi yang cukup berkaitan dengan tugas, peran serta tanggung jawabnya.
Menurut Departemen Kesehatan RI, fungsi bidan di wilayah kerjanya adalah sebagai berikut:
1. Memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di rumah-rumah, mengenai persalinan, pelayanan keluarga berencana, dan pengayoman medis kontrasepsi.
2. Menggerakkan dan membina peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan, dengan melakukan penyuluhan kesehatan yang sesuai dengan permasalahan kesehatan setempat.
3. Membina dan memberikan bimbingan teknis kepada kader serta dukun bayi.
4. Membina kelompok dasa wisma di bidang kesehatan.
5. Membina kerja sama lintas program, lintas sektoral, dan lembaga swadaya masyarakat.
6. Melakukan rujukan medis maupun rujukan kesehatan ke fasilitas kesehatan lainnya.
7. Mendeteksi dini adanya efek samping dan komplikasi pemakaian kontrasepsi serta adanya penyakit-penyakit lain dan berusaha mengatasi sesuai dengan kemampuannya.
Melihat dari luasnya fungsi bidan tersebut, aspek sosial-budaya perlu diperhatikan oleh bidan. Sesuai kewenangan tugas bidan yang berkaitan dengan aspek sosial-budaya, telah diuraikan dalam peraturan Menteri Kesehatan No. 363/Menkes/Per/IX/1980 yaitu: Mengenai wilayah, struktur kemasyarakatan dan komposisi penduduk, serta sistem pemerintahan desa dengan cara:
1. Menghubungi pamong desa untuk mendapatkan peta desa yang telah ada pembagian wilayah pendukuhan/RK dan pembagian wilayah RT serta mencari keterangan tentang penduduk dari masing-masing RT.
2. Mengenali struktur kemasyarakatan seperti LKMD, PKK, LSM, karang taruna, tokoh masyarakat, kelompok pengajian, kelompok arisan, dan lain-lain.
3. Mempelajari data penduduk yang meliputi:
· Jenis kelamin
· Umur
· Mata pencaharian
· Pendidikan
· Agama
4. Mempelajari peta desa
5. Mencatat jumlah KK, PUS, dan penduduk menurut jenis kelamin dan golongan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh bidan agar dirinya dikenal oleh masyarakat ialah ia harus mampu mempromosikan dirinya dengan menampilkan kepribadian sesuai norma dan nilai yang berlaku di masyarakat, memahami bahwa masyarakat merupakan bagian dari dirinya, sehingga bidan memiliki kharismatik bagi masyarakat di wilayah kerja. Apabila masyarakat sudah menanggap bahwa bidan adalah orang yang patut dicontoh (role model), maka ia akan melaksanakan hal-hal yang diajarkan dan dianjurkan oleh bidan.
Untuk dapat menampilkan kepribadian yang sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku, bidan terlebih dahulu harus mempelajari sosial-budaya masyarakat tersebut, yang meliputi tingkat pengetahuan penduduk, struktur pemerintahan, adat istiadat dan kebiasaan sehari-hari, pandangan norma dan nilai, agama, bahasa, kesenian, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan wilayah tersebut.
Bidan dapat berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kebudayaan tradisional setempat, dan melalui kegiatan-kegiatan ini bidan melakukan promosi kesehatan kepada masyaratkat dengan melakukan penyuluhan kesehatan di sela-sela acara kegiatan kebudayaan tradisional.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Bidan sebagai salah seorang anggota tim kesehatan yang terdekat dengan masyarakat, mempunyai peran yang sangat menentukan dalam meningkatkan status kesehatan masyarakat, khususnya kesehatan ibu dan anak di wilayah kerjanya.
Seorang bidan harus mampu menggerakkan peran serta masyarakat khususnya, berkaitan dengan kesehatan ibu hamil, ibu bersalin, bufas, bayi baru lahir, anak remaja dan usia lanjut. Seorang bidan juga harus memiliki kompetensi yang cukup berkaitan dengan tugas, peran serta tanggung jawabnya.
Bidan dapat berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kebudayaan tradisional setempat, dan melalui kegiatan-kegiatan ini bidan melakukan promosi kesehatan kepada masyaratkat dengan melakukan penyuluhan kesehatan di sela-sela acara kegiatan kebudayaan tradisional.
3.2 Saran
Bidan sebagai petugas kesehatan harus mempelajari ilmu-ilmu lain yang terkait dengan kesehatan. Sehingga pelayanan yang diberikan memberikan hasil yang optimal.
0 comments:
Posting Komentar