BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikterus merupakan masalah yang sering muncul pada masa neonatus terjadi akibat akumulasi bilirubin yang berlebihan dalam darah dan jaringan (Schartz William, 2004). Bilirubin itu sendiri merupakan hasil pemecahan sel darah merah (hemoglobin) (Rumahzakat, 2007). Dalam kadar tinggi bilirubin bebas ini bersifat racun, sulit larut dalam air dan sulit dibuang. Untuk menetralisirnya, organ hati akan mengubah bilirubin indirect (bebas) menjadi direct yang larut dalam air. Masalahnya, organ hati sebagian bayi baru lahir belum dapat berfungsi optimal dalam mengeluarkan bilirubin bebas tersebut (Dhafinshisyah, 2008). Misalnya bayi lahir kurang bulan, atau terdapat gangguan dalam hati maka kadar bilirubin dalam darah bayi dapat meningkat. Kadar bilirubin akan kembali normal dalam beberapa hari yaitu ketika organ hati sudah matang atau jika gangguan fungsi hati telah dihilangkan (Rumahzakat, 2007).
Warna kuning (ikterus) pada bayi baru lahir adakalanya merupakan kejadian alamiah (fisiologis), adakalanya menggambarkan suatu penyakit (patologis). Kejadian ikterus sering dijumpai pada bayi dengan BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) (Rustam Mochtar, 1998). Dalam batas normal timbul pada hari kedua sampai ketiga dan menghilang pada hari kesepuluh (Manuaba Ida Bagus Gde, 1998). Pada neonatus cukup bulan, kadar bilirubin tidak melebihi 10 mg/dl dan bayi kurang bulan, kurang dari 12 mg/dl. Ikterus fisiologis baru dapat dinyatakan sesudah diobservasi dalam minggu pertama sesudah kelahiran (Asrining Surasmi, 2003). Masalah yang didapatkan pasien ikterus adalah kurangnya masukan cairan dan nutrisi karena bayi malas minum, resiko terjadi kernikterus, gangguan rasa aman dan nyaman serta kurangnya pengetahuan orang tua / ibu mengenai penyebab dan bahaya ikterus (Ngastiyah, 2005).
Walaupun ikterus fisiologis bukan merupakan patologis tetapi perlu juga diwaspadai karena jika kadar bilirubin indirek yang terlalu tinggi dapat merusak sel-sel otak (kernikterus). Kernikterus adalah suatu sindroma neurologis yang timbul sebagai akibat penimbunan bilirubin dalam sel-sel otak yang tidak dapat dihancurkan dan dibuang (Sunarto Prawirohartono,
2007). Dampak yang terjadi dalam jangka pendek bayi akan mengalami kejang-kejang, sementara dalam jangka panjang bayi bisa mengalami cacat neurologis contohnya ketulian, gangguan bicara dan retardasi mental. Jadi, penting sekali mewaspadai keadaan umum si bayi dan harus terus dimonitor secara ketat (Mula Tarigan, 2008).
Angka kejadian ikterus bayi di Indonesia sekitar 50 % bayi cukup bulan yang mengalami perubahan warna kulit, mukosa dan mata menjadi kekuningan (ikterus), dan pada bayi kurang bulan (premature) kejadiannya lebih sering, yaitu 75 %. Dilaporkan di RSCM, tahun 2007 prosentase ikterus neonatorum pada bayi cukup bulan sebesar 32,1 % dan pada bayi kurang bulan sebesar 42,9 % (Rumahzakat, 2007). Sedangkan di RSU Dr. Soetomo Surabaya kejadian ikterus sekitar 9,8 % (th 2002) dan 15,66 % (th 2003) (Risa Etika, 2007).
Berdasarkan data pada bulan januari sampai 6 April 2008 di BPS Ny. Sri Purweni Mrican Kota Kediri didapatkan 47 bayi dan ibu post partum yang berkunjung di BPS. Dari jumlah kunjungan tersebut yang menderita ikterus fisiologis sebanyak 18 bayi atau sebesar 38,29 %.
Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan tanggal 2-6 April 2008 didapatkan 9 bayi dan ibu post partum yang berkunjung di BPS. Dari jumlah kunjungan ibu post partum yang kurang mengerti tentang ikterus fisiologis pada bayi sebanyak 6 orang atau sebesar 66,67 % dan yang sudah mengerti tentang ikterus fisiologis sebanyak 3 orang atau sebesar 33,33 %. Kemudian bayi yang menderita ikterus fisiologis sebanyak 4 bayi atau sebesar 44,44 % dan yang tidak menderita sebanyak 5 bayi 55,56 %.
Dengan melihat latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Gambaran pengetahuan ibu nifas tentang ikterus fisiologis di BPS Ny. Sri Purweni Mrican Kota Kediri”.
Kunjungi : Download KTI Kebidanan dan Keperawatan No 129
0 comments:
Posting Komentar