BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
ASI (Air Susu Ibu) dikatakan sebagai mukjizat. Hal ini dapat kita pahami dari hasil penelitian yang menunjukkn bahwa tidak ada makanan didunia ini yang sesempurna ASI (Hubertin, 2003). ASI adalah makanan terbaik yang tak tergantikan oleh segala bentuk makanan lain baik susu formula, food suplemen, ataupun suplemen vitamin karena mengandung banyak antibodi, protein, mineral, dan vitamin A (Kishore. 1998).
Sesuai dengan rekomendasi WHO / UNICEF dan juga ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), untuk bayi harus diberikan ASI eksklusif selama 6 bulan pertama dan kemudian dilanjutkan dengan makanan pendamping ASI yang berkualitas. ASI diteruskan hingga 2 tahun atau lebih sesuai dengan keinginan bayi dan ibu. Selanjutnya, karena ASI bisa memenuhi kebutuhan kalori sebesar 100% untuk bayi yang berusia 0 sampai 6 bulan, 70% untuk bayi usia 6 sampai 12 bulan dan 30% untuk usia anak diatas 12 bulan maka pemberian susu tambahan selama masa ASI eksklusif tidak diperlukan (Mia, S. 2008).
Meningkatnya perjuangan hak-hak asasi wanita dalam meniti karir untuk bekerja diluar rumah pada titik-titik kritis dengan meninggalkan tugas utamanya untuk memberikan ASI yang menggantikan dengan susu botol (formula). Disamping itu propaganda susu formula demikian gencarnya sehingga mereka yang merasa mampu dan terpelajar, merasa makin meningkat kedudukannya bila dapat menggantikan ASI-nya dengan susu formula (Manuaba, IBG.1998). Kesalahan beranggapan bahwa minum susu merupakan suatu tren, yang kalau tidak dilakukan, bisa-bisa dianggap ketinggalan zaman, setidaknya tertinggal dalam menjalani pola hidup sehat (Luciana, B. 2008).
Alasan lain mengapa banyak ibu tidak menyusui terutama secara eksklusif sangat bervariasi. Namun, yang paling sering dikemukakan sebagai berikut: ASI tidak cukup, ibu bekerja dengan cuti hamil tiga bulan, takut ditinggal suami, tidak diberi ASI tetap berhasil jadi orang, bayi akan tumbuh menjadi anak yang tidak mandiri dan manja, susu formula lebih praktis, takut badan tetap gemuk (Roesli, U. 2000). Hal tersebut juga dipengaruhi ketidaktahuan ibu mengenai cara-cara pemberian ASI pada bayinya padahal makanan pengganti yang bergizi jauh dari jangkauan mereka. Kurangnya pengertian dan dan pengetahuan ibu tentang ASI dan menyusui menyebabkan ibu mudah terpengaruh dan beralih pada susu formula (Siregar, A. 2004). Pemberian susu formula kepada bayi yang semestinya mendapatkan ASI eksklusif menjadi gaya hidup saat ini. Berdasarkan survei pada 1999, bayi di Indonesia rata-rata memperoleh ASI eksklusif hanya sampai usia 1,7 bulan saja. Survei Demografi Kesehatan Indonesia pada 1997 dan 2002 menunjukkan pemberian ASI kepada bayi satu jam setelah kelahiran menurun dari 8 persen menjadi 3,7 persen. Pemberian ASI eksklusif selama enam bulan menurun dari 42,2 persen menjadi 39,5 persen (Nuryati, S. 2006). Sedangkan untuk daerah Jawa Timur sendiri bayi yang memperoleh ASI eksklusif sampai 6 bulan hanya sebesar 22,99% (BPS Jawa Timur. 2006). Data dari Dinas Kesehatan Kota Kediri tahun 2007 didapatkan yang memperoleh ASI eksklusif sejumlah 176 bayi atau 42,6%, sedangkan target dari dinas sendiri adalah 80%. (LB 3 Kota Kediri. 2007).
Berdasarkan praktek kerja lapangan yang dilakukan pada tanggal 10 maret - 29 maret 2008 di desa Wonocatur kecamatan Gampengrejo didapatkan data tentang pelaksanaan ASI eksklusif adalah sebagai berikut : jumlah sasaran 12 (usia 0-6), inisiasi menyusu dini 0%. E-0 : 4 =33,3%, E-1 : 2 = 16,6%, E-2 : 1 = 8,33%, E-3 : 0 = 0%, E-4 : 2 = 16,6%, E-5 : 1 = 8, 33%, E-6 : 2 =16,6%. Dari 27 bayi (usia 7-12 bulan), yang mendapatkan ASI eksklusif hanya 4 (14,8%) bayi saja.
Kejadian ini kembali mengingatkan kita akan salah satu hak bayi yang selama ini sering dilupakan oleh para ibu, yakni hak untuk memperoleh air susu ibu yang sering dengan mudahnya digeser oleh susu formula. Betapa tidak, data menyebutkan hanya 14 persen bayi di Indonesia yang disusui secara eksklusif oleh ibunya hingga usia 4 bulan. Untuk data penggunaan susu formula berdasarkan survei demografi Indonesia meningkat tiga kali lipat dari
10,8 persen menjadi 32,5 persen pada tahun 1997 dan 2002 (Nuryati, S. 2006).
Di kota-kota besar kita sering melihat bayi diberi susu botol daripada disusui ibunya. Sementara itu dipedesaan, kita melihat bayi yang baru berusia satu bulan sudah diberi pisang atau nasi lembut sebagai tambahan ASI. Dari penelitian terhadap 900 ibu di sekitar Jabotabek (1995) diperoleh fakta bahwa yang dapat memberi ASI eksklusif selama 4 bulan hanya sekitar 5% padahal 98% ibu - ibu tersebut menyusui. Dari penelitian tersebut 37,9% dari ibu - ibu tersebut tak pernah mendapatkan informasi khusus tentang ASI, sedangkan 70,4% ibu tak pernah mendengar informasi tentang ASI eksklusif (Roesli, U.2008). Di Jawa Timur penggunaan susu formula belum diketahui secara pasti karena selama ini tidak ada laporan ataupun survei tentang penggunaan susu formula, baik di Jawa Timur ataupun kota Kediri (Dinkes kota Kediri. 2008). Sedangkan untuk jumlah bayi yang tidak memperoleh ASI eksklusif adalah sekitar 40,3% separuh dari jumlah target yang ditentukan dinas kesehatan pada tahun 2006,dan bayi yang sama sekali tidak pernah memperoleh ASI sebanyak 5,38%, untuk kota Kediri yang tidak memperoleh ASI eksklusif sebanyak 36,9%, Kediri kabupaten 37,8% (BPS Jawa Timur. 2006). Di desa Wonocatur dari data 27 bayi yang berusia 7-12 bulan sudah menerima ASI eksklusif hanya 4 saja sedangkan 23 lainnya belum mencapai 6 bulan sudah diberikan susu formula.
Berdasarkan fakta-fakta di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti adakah hubungan pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif dan sikap ibu dalam memberikan susu formula pada buah hatinya, diwilayah kerja Puskesmas Ngasem Kota Kediri, khususnya di Desa Wonocatur.
Kunjungi : Download KTI Kebidanan dan Keperawatan No 152
0 comments:
Posting Komentar