BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tidak dapat disangkal lagi bahwa penyakit AIDS yang mematikan itu telah berada ditengah-tengah kita. Setelah sekian tahun lamanya dan kita seolah-olah kebal dari ancaman penyebarannya (Ronald Hutapea, 2003 : 19).
Sejak dimulainya epidemic HIV/AIDS telah mematikan lebih dari 25 juta orang. AIDS merupakan salah satu penyakit yang angka kesakitan terus mengalami kenaikkan tiap tahunnya. Di seluruh dunia, AIDS menyebabkan kematian pada lebih 8000 orang setiap hari saat ini yang berarti 1 orang setiap detik. Karena itu infeksi HIV dianggap sebagai penyebab kematian tertinggi akibat satu jenis agen infeksius. Menurut sumber Direktorat Jendral PPM dan PL Dep. Kesehatan RI kasus HIV/AIDS di Indonesia setiap tahunnya terus menunjukan kecenderungan meningkat. Hingga akhir September 2007 dilaporkan 1.020 orang terkena HIV/AIDS. Jumlah kumulatif penderita HIV/AIDS di Indonesia sejak ditemukan pertama kali tahun 1987 hingga September 2007 adalah 10.384 penderita AIDS dan
5.904 orang penderita HIV (Widodo Judarwanto, 2007).
Melihat tingginya prevalensi di atas maka masalah HIV/AIDS saat ini bukan hanya masalah kesehatan dari penyakit menular semata, tetapi sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang sangat luas. Oleh karena itu
penanganan tidak hanya dari segi medis tetapi juga dari psikososial dengan berdasarkan pendekatan kesehatan masyarakat melalui upaya pencegahan primer, sekunder, dan tertier. Salah satu upaya tersebut adalah deteksi dini untuk mengetahui status seseorang sudah terinfeksi HIV atau belum melalui konseling dan testing HIV/AIDS (http://125.160.76.194/peraturan /Permenkes).
Data dari komite penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Jatim hingga November 2006, jumlah pengindap HIV yang terdeteksi melalui Voluntary Counselling and Testing /VCT atau tes HIV/AIDS secara sukarela sebanyak 1.901 orang. Dari jumlah tersebut sekitar 902 orang positif AIDS dan 244 orang meninggal dunia. Diprediksikan di luar orang yang memeriksakan diri secara sukarela ini melalui VCT masih banyaknya masyarakat Jawa Timur yang terinfeksi HIV/AIDS (Dahlia Irawa, 2007). Sampai dengan bulan januari 2008 secara kumulatif jumlah kasus HIV/AIDS di Jawa Timur adalah 1.587 orang (Ansarul Fahruda, 2008). Angka yang cukup tinggi ini telah menjadikan Jawa Timur menduduki peringkat ke empat pada kasus HIV di Indonesia. Dan kasus 70% atau sebesar 476 jiwa ada di Surabaya. Disamping factor pemicunya di Surabaya adalah tempat lokalisasi terbesar di Asia Tenggara juga perubahan perilaku manusia (perilaku seks bebas, pengguna NAPZA) (Siti, 2008). Penyebaran virus mematikan HIV/AIDS telah menjadikan Kota Kediri sebagai urutan ketiga Jatim setelah Surabaya dan Malang. Dari data Dinas Kesehatan Kota Kediri mulai tahun 2002-2007 terdapat 23 orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dengan perincian tahun 2002 satu orang, tahun 2002 satu orang, tahun 2003 dua orang satu diantaranya meninggal, 2004 dua orang satu meninggal, tahun 2005 tujuh orang, tahun 2006 enam orang dan hingga akhir Maret 2007 lima orang dengan satu orang meninggal dunia (Aro, 2007).
HIV/AIDS dapat menular melalui beberapa sebab yaitu melalui hubungan seksual (anal, oral, vaginal) yang tidak telindungi, jarum suntik, tindik, tato yang tidak steril, transfusi darah, penderita HIV positif kepada bayinya ketika dalam kandungan saat melahirkan atau melalui ASI (Arios, 2008). Tujuh puluh persen (70%) penderita AIDS di Kabupaten Kediri tertular melalui hubungan seksual dan mayoritas penderita adalah pedagang seks komersial yang mangkal di beberapa lokasi di Kediri (Vina Christin, 2007).
Dalam catatan komisi penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) di wilayah Kediri terdapat wanita pekerja seks/WPS sebanyak 1.400 an. Angka ini tergolong tinggi karena seluruh Jatim terdapat 26.000 WPS dan secara nasional terdapat 221.120 WPS (http://www.surya.co.id). Dan sampai saat ini jumlah WPS yang beroperasi di lokalisasi Semampir mencapai 400 orang (Hani, 2007).
Situasi yang mengkhawatirkan banyak kalangan di Kediri, dengan merebaknya kasus HIV/AIDS di Kota Kediri, mendorong pemerintah Kota Kediri dan Dinas Kesehatan untuk terus berupaya melakukan langkah-langkah antisipasi. Salah satunya dengan membangun Klinik Seroja yang memberikan pelayanan konseling terhadap penyakit infeksi seksual dan pemeriksaan virus HIV/AIDS dengan Voluntary Counselling and Testing /VCT (Hani, 2007). Disamping itu Dinas Kesehatan juga melakukan pembinaan dan penyuluhan secara berkala tidak hanya pada kelompok berisiko tinggi tetapi juga kepada seluruh lapisan masyarakat mulai pelajar hingga ibu rumah tangga (Vina Christin, 2008).
Dari studi pendahuluan yang kami lakukan di Klinik Seroja pada tanggal 4-6 Maret 2008 diketahui dari 14 wanita pekerja seks/WPS yang periksa setiap harinya di Klinik Seroja masih diantar oleh pengurusnya. Melihat keadaan ini maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Hubungan Pengetahuan Wanita Pekerja Seks Tentang HIV/AIDS Dengan Minat untuk Mengikuti Voluntary Counselling and Testing /VCT di Klinik Seroja Kediri.
Kunjungi : Download KTI Kebidanan dan Keperawatan No. 135
0 comments:
Posting Komentar