KUMPULAN KTI KEBIDANAN DAN KTI KEPERAWATAN

Bagi mahasiswi kebidanan dan keperawatan yang membutuhkan contoh KTI Kebidanan dan keperawatan sebagai rujukan dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah bisa mendapatkannya di blog ini mulai dari BAB I, II, III, IV, V, Daftar Pustaka, Kuesioner, Abstrak dan Lampiran. Tersedia lebih 800 contoh kti kebidanan dan keperawatan. : DAFTAR KTI KEBIDANAN dan KTI KEPERAWATAN

KTI GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUNJUNGAN ANTENATAL CARE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS XXXXXXX

Selasa, 17 Mei 2011

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Mortalitas dan morbiditas wanita hamil dan bersalin adalah masalah besar dan berkembang. Menanggapi masalah kematian ibu yang demikian besar, tahun 1989 untuk pertama kalinya di tingkat internasional diadakan konferensi tentang kematian ibu di Nairobu, Kenya. Tahun 1994 diadakan pula International Conferene on Population and Development (ICPD) di Kairo, Mesir, yang menyatakan bahwa kebutuhan kesehatan reproduksi pria dan wanita sangat vital bagi pembangunan sosial dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Pelayanan kesehatan tersebut dinyatakan sebagai bagian intergral dari pelayanan dasar yang akan terjangkau oleh masyarakat. Didalamnya termasuk pelayanan kesehatan ibu yang berupaya agar setiap ibu hamil dapat melalui kehamilan dan persalinan dengan selamat (Saifudin, 2003). 
Saat ini angka kematian ibu (AKI) dan neonatal di Indonesia masih tinggi. Menurut Survey Kesehatan Dasar Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2007 angka kematian ibu adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup. Jika dibandingkan dengan target Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) anak pada tahun 2000 yaitu 213 per 100.000 kelahiran hidup, maka hasil yang dicapai belum sesuai dengan yang diharapkan. Tingginya AKI di Indonesia tersebut erat kaitannya dengan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai kesehatan reproduksi dan pemeriksaan kesehatan selama kehamilan (Widodo, Angraini, Halim, et al, 2005). Kemiskinan, ketidaktahuan dan kebodohan serta rendahnya status wanita dalam masyarakat merupakan beberapa faktor yang ikut berperan pada tingginya AKI (Wikjosastro, 2002).
Beberapa faktor yang melatarbelakangi risiko kematian ibu adalah kurangnya partisipasi ibu yang disebabkan tingkat pendidikan ibu rendah, kemampuan ekonomi keluarga rendah, kedudukan sosial budaya yang tidak mendukung. Jika ditarik lebih jauh, beberapa perilaku tidak mendukung juga bisa membawa risiko. Sebanyak 16,6% perempuan menolak kehamilannya. Pasangan yang tidak ingin anak lagi (4,6%) atau menunda punya anak (4%). Upaya aborsi selalu menempatkan perempuan dalam situasi hidup dan mati. Selain jumlah anemia ibu hamil sangat tinggi (40%), rendahnya partisipasi dalam program Keluarga Berencana (KB) paska persalinan (19,1%) mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan (Anonymous 2006).
Sebagian besar kematian ini sebenarnya dapat dicegah melalui pelayanan antenatal yang mampu mendeteksi dan menangani kasus risiko tinggi secara memadai, pertolongan persalinan yang bersih dan aman, serta pelayanan rujukan kebidanan/perinatal yang terjangkau pada saat diperlukan (Depkes RI, 2003). 
Menurut Depkes RI (2003) komplikasi-komplikasi yang disebutkan di atas sebagian besar dapat dicegah, apabila kesehatan ibu selama hamil selalu terjaga melalui pemerikasaan antenatal yang teratur dan pertolongan yang bersih dan aman. Dalam upaya konkritnya antara lain adalah melalui upaya meningkatkan mutu dan menjaga kesinambungan pelayanan kesehatan ibu serta perinatal di tingkat pelayanan dasar dan pelayanan rujukan primer, dapat juga dilakukan dengan mengembangkan konsep Audit maternal-perinatal (AMP). Selain itu di tingkat masyarakat adalah dengan cara meningkatkan pemahaman (pengetahuan, sikap, praktek dan persepsi) masyarakat tersebut dengan pelayanan ANC tersebut.
Laporan Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru sasaran seluruh ibu hamil di Pekanbaru tahun 2008 adalah 22.056 jiwa. Dimana  kunjungan (K1) mencapai 20,631 (94%) sedangkan (K4) mencapai 17,588 (79,73%). Dari 17 Puskesmas,  Puskesmas Umban Sari kunjungan pertama ibu hamil sudah baik mencapai target 96% sedangkan target yang mesti dicapai yakni 94%, namun cakupan K4 masih di bawah target yakni 67,78% sedangkan target yang mesti dicapai 95%.  
Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang bagaimana gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi kunjungan ANC di puskesmas Umban Sari kecamatan Rumbai.  
Banyak faktor yang mempengaruhi cakupan pelayanan ANC, faktor-faktor tersebut antara lain yaitu pengetahuan, status ekonomi, sikap, status pekerjaan, informasi dan  jumlah kelahiran.

Kunjungi : Download KTI Kebidanan dan Keperawatan No 185

KTI GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RENDAHNYA PENGETAHUAN PRIMIPARA TENTANG PERAWATAN NIFAS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS XXXXXX

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.    LATAR BELAKANG
Masa nifas merupakan masa yang rawan karena ada beberapa risiko yang mungkin terjadi pada masa itu, antara lain : anemia, pre eklampsia/ eklampsia, perdarahan post partum, depresi masa nifas, dan infeksi masa nifas. Diantara resiko tersebut ada dua yang paling sering mengakibatkan kematian pada ibu nifas, yakni infeksi dan perdarahan. Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002 / 2003 menunjukkan bahwa angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih berada pada angka 307 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan pada tahun 2007 AKI menjadi 263 per 100.000 kelahiran hidup.
 Adapun penyebab langsung yang berkaitan dengan kematian ibu adalah komplikasi pada kehamilan, persalinan, dan nifas tidak ditangani dengan baik dan tepat waktu. Kematian ibu pada masa nifas biasanya disebabkan oleh infeksi nifas (10%), ini terjadi karena kurangnya perawatan pada luka, perdarahan (42%) (akibat robekan jalan lahir, sisa placenta dan atonia uteri), eklampsi (13%), dan komplikasi masa nifas (11%) (Siswono, 2005). Sedangkan jumlah kematian ibu pada masa nifas di Propinsi Riau cenderung meningkat, berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Propinsi Riau bahwa jumlah kematian ibu dalam masa kehamilan, persalinan, dan masa nifas tahun 2007 sebanyak  179 orang, tahun 2008 sebanyak 199 orang,
Kemudian penulis juga melihat data Rekam Medik di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru bahwa jumlah kematian ibu pada masa nifas akibat berbagai komplikasi tahun 2007 sebanyak 16 orang, sedangkan tahun 2008 sebanyak 4 orang. Penulis melihat bahwa kematian ibu pada masa nifas umumnya disebabkan oleh perdarahan dan infeksi jalan lahir.
Adapun alasan penulis mengambil topik ini menjadi sebuah karya tulis ilmiah dengan judul “gambaran faktor-faktor rendahnya pengetahuan primipara tentang perawatan masa nifas diwilayah kerja puskesmas Tahun 2009” adalah dari pengalaman yang pernah penulis lihat, baik di masyarakat maupun klinik- klinik bersalin serta dari hasil wawancara pada beberapa orang ibu, banyak ibu- ibu yang tidak mengetahui dengan baik perawatan pada masa nifas, misalnya saja tindakan ibu nifas yang membungkus perutnya dengan stagen dengan alasan agar perut ibu tidak melar dikemudian hari padahal hal tersebut dapat mengganggu kontraksi uterusnya, lalu membatasi atau bahkan melarang ibu untuk mengkonsumsi ikan dengan alasan dapat menimbulkan alergi padahal ikan banyak mengandung protein yang sangat baik untuk perbaikan jaringan- jaringan yang rusak akibat proses persalinan.
Kemudian ibu juga sering mengalami masalah-masalah pada masa nifas yang timbul akibat ketidaktahuannya, misalnya ibumenahan urinenya karena takut akan robek kembali jahitan pada alat genetalianya, nyeri pada abdomen yang kadang-kadang ibu beranggapan bahwa hal tersebut abnormal padahal nyeri  tersebut  akibat   involusi   uterus,  pembengkakan mamae sehingga menjadi mastitis oleh karena ketidaktahuan ibu tentang teknik menyusui ataupun perawatan mammae pada masa nifas, selain itu rendahnya tingkat pendapatan ekonomi dan pendidikan keluarga dan masih banyak praktek lokal yang sangat merugikan ibu seperti memiliki pantang makanan tertentu seperti ikan, telur, cumi-cumi, udang, kepiting yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk proses metabolisme ibu serta sebagai cadangan energi untuk proses persalinan dan laktasi. (Albertin Y.R Nggelan , 2009 ) .
Kunjungi : Download KTI Kebidanan dan Keperawatan No 184

KTI GAMBARAN PENGETAHUAN REMAJA PUTRI DALAM MENGHADAPI MENSTRUASI DI SMP XXXXXX

BAB I
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang
Periode masa remaja dan menstruasi (haid) yang terjadi pada seorang wanita erat kaitannya, karena seorang dikatakan remaja bila sudah mengalami menstruasi. Bila seorang anak perempuan telah mengalami menstruasi yang pertama (menarche), maka dapat dikatakan bahwa anak perempuan tersebut telah memasuki masa remaja (Mayasari, 2005).
Masa remaja, usia diantara masa anak-anak dan dewasa, yang secara biologis mulai umur 8-19 tahun (Nita, 2008). Peristiwa terpenting yang terjadi pada gadis remaja ialah datang haid yang pertama kali, biasanya sekitar umur 10-16 tahun. Menstruasi merupakan suatu proses keluarnya darah dari lubang vagina yang akan terjadi setiap bulan. Menstruasi terjadi akibat keluarnya sel telur yang tidak dibuahi sperma serta bercampur dengan terkelupasnya selaput lendir rahim dan darah (Jones, 2005).
Banyak wanita (remaja putri) yang mengalami ketidaknyamanan fisik selama beberapa hari sebelum periode menstruasi mereka datang. Kira-kira setengah dari seluruh wanita menderita akibat dismenore, atau menstruasi yang menyakitkan. Hal ini khususnya sering terjadi masa remaja dan awal masa dewasa (Taskarini,  2006).
Di seluruh dunia, sekitar 50 % kaum remaja putri pernah mengeluh karena sakit waktu haid pada masa remaja. Biasanya gangguan ini mencapai puncaknya pada umur 17-25 tahun, dan berkurang atau sembuh setelah pernah mengandung (Jones, 2005).
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2002, jumlah remaja putri di Indonesia sebesar 24,6% yaitu yang berusia 10-19 tahun (Prantiko, 2003). Di Indonesia, remaja yang mengalami masalah dalam menstruasi diperkirakan sebesar 20%, gangguan menstruasi tersebut dibarengi dengan nyeri di perut, mulas, muntah-muntah, sakit kepala, hingga berakhir dengan pingsan, emosi menjadi tidak terkontrol dan badan menjadi lesu (Dhanti, 2005).
Dari penelitian di SLTP Negeri 1 Bogor diketahui bahwa 82,6% siswi berperilaku kurang baik saat menstruasi atau hari biasa. Sedangkan penelitian di kelas III SLTP Negeri 27 Semarang menunjukkan 76,80% responden berumur 14 tahun dan 64,30% umur menarchenya 12 tahun. Tingkat pengetahuan tentang menstruasi 46,40% termasuk kategori kurang. Sikap terhadap menstruasi 43,00% termasuk kategori kurang (Marwanti, 2005).
Seorang remaja putri yang sudah mengalami menstruasi juga akan mengalami kematangan organ-organ reproduksi, hal ini juga menyebabkan hasrat seksual mulai timbul, dan jika tidak mendapatkan informasi dan pengetahuan yang benar maka akan terjadi perilaku seks bebas (Patrine, 2006). Penelitian Yayasan Kusuma menyebutkan 6,3% dari 1.594 remaja di 12 kabupaten di Sumtera Utara telah melakukan hubungan seks babas. Sedang Sahabat Remaja PKBI Medan pada tahun 2001-2002 menyebut terdapat 26% dari 359 remaja di Medan yang mengaku telah melakukan hubungan seksual (Sustiwi, 2005).
Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Propinsi Sumatra Utara tahun 2006 menunjukkan bahwa jumlah penduduk propinsi Sumatra Utara sebanyak 12.643.494 jiwa. Dari jumlah tersebut kelompok umur 10-14 tahun sebanyak 1.431.092 jiwa dan kelompok umur 15-19 tahun sebanyak 1.409.386 jiwa (Dinkes Propsu, 2007).
Remaja putri yang tidak mengenal tubuh mereka dan proses reproduksi dapat mengira bahwa menstruasi merupakan bukti adanya penyakit atau bahkan hukuman akan tingkah laku yang buruk. Anak-anak perempuan yang tidak diajari untuk menganggap menstruasi sebagai fungsi tubuh normal dapat mengalami rasa malu yang amat dan perasaan kotor saat menstruasi pertama mereka. Bahkan saat menstruasi akhirnya dikenali sebagai proses yang normal, perasaan kotor dapat tinggal sampai masa dewasa (Taskarini, 2006).
Remaja putri membutuhkan informasi tentang proses menstruasi dan kesehatan selama menstruasi. Remaja putri akan mengalami kesulitan seperti kecemasan yang berlebihan dalam menghadapi menstruasi yang pertama jika sebelumnya ia belum pernah mengetahui atau membicarakan baik dari teman sebaya atau dengan ibu mereka. Idealnya seorang remaja putri belajar tentang menstruasi dari ibunya. Namun tidak selamanya ibu dapat memberikan informasi tentang menstruasi karena terhalang oleh tradisi yang menganggap tabu membicarakan tentang menstruasi sebelum menarche (Mayasari, 2006). 
Berdasarkan latar belakang di atas dan menurut survey awal yang sudah dilakukan peneliti ternyata masih kurangnya pengetahuan remaja putri tentang menstruasi, maka penulis tertarik melakukan penelitian mengenai gambaran pengetahuan remaja putri tentang menstruasi pada siswi kelas II SMP ................... Medan Periode Mei-Juni 2010
Berdasarkan data diatas maka peneliti merasa tertarik melakukan penelitian yang berjudul Gambaran Pengetahuan Remaja Putri Dalam Menghadapi Menstruasi di Kelas II ................... Medan Periode Mei-Juni  2010.


Kunjungi : Download KTI Kebidanan dan Keperawatan No 183

KTI HUBUNGAN TEKNIK MENYUSUI DENGAN PRODUKSI ASI PADA IBU POST PARTUM PRIMIPARA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS XXXXXX

BAB  I
PENDAHULUAN 

1.1.              Latar Belakang
Kelahiran bayi merupakan momen yang menggembirakan bagi orang tua manapun. Akan tetapi kesejahteraan janin dan setelah lahir, didasari oleh kasehatan  wanita saat hamil. Nutrisi memainkan peran terpenting bagi pertumbuhan dan perkembangan yang sehat untuk bayi, air susu ibu atau yang kita kenal selama ini dengan ASI merupakan makanan alamiah yang pertama dan paling utama bagi bayi yang lahir, karena ASI dapat memenuhi kebutuhan bayi akan energi dan gizi bayi bahkan selama 4 – 6 bulan pertama kehidupannya, dapat mencapai tumbuh kembang yang optimal berkat ASI. Selain sebagai sumber energi dan zat gizi, pemberian ASI juga merupakan media untuk menjalin hubungan psikologis antara ibu dan bayinya, hubungan ini akan mengantarkan kasih sayang dan perlindungan ibu kepada bayinya serta memikat kemesraan bayi terhadap ibunya, sehingga dapat terjalin hubungan yang harmonis dengan penuh kasih sayang  (Ramaiyah, Savitri, 2006) 
Namun sebaliknya dalam kehidupan sehari-hari kita sering menemukan ibu-ibu yang tidak berhasil menyusui bayinya atau bahkan menghentikan menyusui bayinya lebih dini dengan berbagai alasan. Dari sebuah penelitian didapatkan data bahwa 98 ribu dari 100 ribu ibu-ibu yang mengatakan produksi ASI-nya kurang, padahal sebenarnya mereka mempunyai cukup ASI, tetapi kurang mendapat informasi tentang manajemen laktasi yang benar,  posisi menyusui yang tepat, serta terpengaruh mitos-mitos tentang menyusui, yang umumnya dapat menghambat produksi ASI. Bayi yang kurang mendapatkan ASI atau kurang minum, pada umumnya bukan karena ibunya yang tidak memproduksi ASI sebanyak yang diperlukan oleh bayi, disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya karena posisi menyusui yang tidak benar. Posisi tersebut adalah posisi mulut bayi terhadap puting ibu, bukan posisi bayi terhadap badan ibu.Berdasarkan hasil penelitian Dian Nur Susanti, 2006 tentang kegagalan dalam menyusui pada ibu post partum primipara yang menyusui bayi berusia 3 hari – 2 bulan terdapat dua faktor pencetus kegagalan tersebut, yang pertama adalah faktor teknik menyusui dimana dari 32 orang ibu post partum primipara terdapat 19 orang  ( 59,38  % ) yang menyusui dengan teknik menyusui buruk, sedangkan 13 orang lagi ( 40, 62 % ) teknik menyusuinya baik. Faktor yang kedua adalah Produksi ASI dimana didapatkan 19 orang  ( 59, 38 % ) produksi ASI nya buruk dan 13 orang lagi ( 40, 62 % ) merupakan produksi ASI yang baik. Menyusui adalah sesuatu yang alami, dan segala sesuatu yang alami adalah yang terbaik bagi semua orang. 
Namun, demikian  hal tersebut tidak selalu mudah dilakukan. Menyusui yang sukses membutuhkan dukungan baik dari orang yang telah mengalaminya atau dari seseorang yang profesional, Selain itu  menyusui sangat bermanfaat bagi ibu dan bayi, besarnya manfaat ASI bahkan telah di kampanyekan oleh UNICEF (United Nations Children’s Fund ) melalui Pekan Menyusui Sedunia atau World Breast Feeding Week yang diselenggarakan setiap tanggal 1 – 7 Agustus. Kampanye itu antara lain mengajak masyarakat di seluruh dunia, terutama kaum ibu untuk memberikan manfaat ASI kepada bayi dan mengenal manfaat pemberian ASI bagi dirinya sendiri ( Martin Leman, 2007 ).
Kesulitan menyusui pada umumnya terjadi pada ibu yang baru pertama kali melahirkan. Disamping merupakan sebuah pengalaman yang baru, ibu juga biasanya canggung  saat menggendong bayinya bahkan panik bila menangis keras karena sesuatu hal. Sebaliknya, bayi yang baru lahirpun harus belajar cara menyusu yang benar, yaitu puting susu dan 90 % areola mamae masuk kedalam mulut dan kemudian lidahnya melakukan gerakan menghisap.
UNICEF memperkirakan bahwa pemberian ASI eksklusif sampai usia    6 bulan dapat mencegah kematian anak berusia dibawah 5 tahun sebesar 1,3 juta. Suatu penelitian di Ghana yang diterbitkan dalam Jurnal Pediatrics juga menunjukkan 16 % kematian bayi dapat dicegah melalui pemberian ASI pada bayi yang dimulai pada hari pertama kelahirannya. Angka ini naik menjadi 22 % jika pemberian ASI dimulai dalam satu jam pertama setelah kelahiran bayi.  Sedangakan di Indonesia kematian bayi baru lahir ( usia di bawah 28 hari ) sekitar 21.000 dapat dicegah melalui pemberian  ASI pada 1 jam setelah bayi baru lahir  (Anton, Baskoro, 2008 ). 
Adapun alasan penulis mengambil topik ini menjadi sebuah karya tulis  ilmiah dengan judul “ Hubungan Teknik Menyusui dengan Produksi ASI pada Ibu Post partum Primipara di Wilayah Kerja Puskesmas Sail“ pada awalnya terinspirasi dari pengalaman  yang pernah penulis lihat, baik di masyarakat maupun di klinik-klinik bersalin saat melakukan Praktek Kerja Lapangan ( PKK) yaitu pada RB 1 terdapat 19 orang ibu post partum yang baru bersalin, 11 orang diantaranya ibu primipara yang tidak mengetahui teknik menyusui yang baik. Sedangkan RB yang kedua terdapat 25 orang ibu post partum, 9 orang diantaranya juga tidak mengetahui teknik menyusui yang baik serta dari majalah-majalah atau artikel kesehatan  dimana banyak ibu-ibu yang mengeluh tidak dapat menyusukan bayinya karena produksi ASI yang sedikit. Padahal kalau diperhatikan keadaan fisik dan psikologis ibu baik dan struktur payudara ibu secara anatomis juga baik. Namun kenyataannya kegagalan menyusui masih terjadi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya karena teknik menyusui yang kurang tepat, yaitu pada RB 1 terdapat 19 orang ibu post partum yang baru bersalin, 11 orang diantaranya ibu primipara yang tidak mengetahui teknik menyusui yang baik. Sedangkan RB yang kedua terdapat 25 orang ibu post partum, 9 orang diantaranya juga tidak mengetahui teknik menyusui yang baik serta dari majalah-majalah atau artikel kesehatan  dimana banyak ibu-ibu yang mengeluh tidak dapat menyusukan bayinya karena produksi ASI yang sedikit. Padahal kalau diperhatikan keadaan fisik dan psikologis ibu baik dan struktur payudara ibu secara anatomis juga baik. Namun kenyataannya kegagalan menyusui masih terjadi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya karena teknik menyusui yang kurang tepat.  

Kunjungi : Download KTI Kebidanan dan Keperawatan No 182

KTI FAKTOR PREDISPOSISI YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KANKER LEHER RAHIM DI RSUD XXXXXXX

Senin, 16 Mei 2011

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Berdasarkan Undang- Undang nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan, dan PERMENKES nomor 572/MENKES/PER 1996 Bab V Pasal 24 bahwa pelayanan kebidanan pada ibu selain berorientasi pada wanita dalam masa kehamilan, persalinan, dan nifas juga ditujukan pada wanita yang mengalami kelainan ginekologi termasuk didalamnya penyakit kanker leher rahim atau karsinoma serviks. Kanker merupakan penyakit tidak menular. Penyakit ini timbul akibat kondisi fisik yang tidak normal dan pola hidup yang tidak sehat. Kanker dapat menyerang berbagai jaringan didalam organ tubuh, termasuk organ reproduksi wanita yang terdiri dari payudara, indung telur, rahim dan vagina (Mangan, 2003). 
Beberapa faktor yang diduga meningkatkan kejadian kanker leher rahim yaitu faktor sosiodemografi yang meliputi usia, status sosial ekonomi, dan faktor aktifitas seksual  yang meliputi usa pertama kali melakukan hubungan seks, pasangan seks berganti-ganti, paritas, kurang menjaga kebersihan genital, merokok, riwayat penyakit kelamin, trauma kronis pada serviks, serta penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka waktu lebih dari 4 tahun (Diananda, 2007) Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, saat ini penyakit kanker leher rahim menempati peringkat teratas di antara berbagai jenis kanker yang menyebabkan kematian pada perempuan di dunia. 
Di Indonesia, setiap tahun terdeteksi lebih dari 15.000 kasus kanker leher rahim, dan kira-kira sebanyak 8000 kasus diantaranya berakhir dengan kematian. Menurut WHO, Indonesia merupakan negara dengan jumlah penderita kanker leher rahim yang tertinggi di dunia (Nurcahyo, 2009). Total jumlah wanita yang didiagnosis kaker leher rahim di Amerika Serikat pada tahun 1999 adalah 12.900 dengan kematian yang berkaitan dengan kanker sejumlah 4.400, sedangkan jumlah wanita yang mengidap kanker leher rahim di seluruh dunia sekitar 471.000, dengan angka kematian 215.000. Di banyak negara berkembang, kanker leher rahim merupakan penyebab kematian paling umum di usia  reproduktif (Rasjidi, 2010). 
Di Asia, kanker leher rahim merupakan penyakit kanker pada wanita kedua terbanyak diderita dan lebih dari setengah wanita Asia yang menderita kanker serviks meninggal dunia. Ini sama dengan 226 ribu wanita yang didiagnosa menderita kanker leher rahim dan sebanyak 143 ribu penyebab kematian atau dengan kata lain setiap 4 menit, seorang wanita di Asia Pasifik meninggal karena kanker leher rahim (Wahyuningsih, 2010).Berdasarkan data 13 Pusat Patologi di Indonesia dari 13.644 kasus kanker pada pria dan wanita mempunyai frekuensi tertinggi dimana 27% pada pria  dan 36% pada wanita dari 10.233 kasus pada wanita saja. Dan dari data beberapa gabungan rumah sakit di Indonesia menunjukkan juga frekuensinya juga paling tinggi yaitu 16,0%. Disusul oleh hati/hepatoma (12,0%), payudara 10.0%, paru (9,0%), kulit (17,5%) (Azis, 2005). Pernyataan ini diperkuat oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), yang menyebutkan bahwa penyakit kanker leher rahim banyak diderita oleh wanita Indonesia dan merupakan  presentase  tertinggi  dari jenis penyakit kanker yang ada     (Setrayini, 2009). 
Departemen Kesehatan RI menyatakan bahwa sampai saat ini terdapat rata- rata bahwa 100 kasus kanker leher rahim setiap 100 ribu penduduk Indonesia per tahun. Sementara data Yayasan Kanker Indonesia (2007) menyebutkan angka yang lebih hebat, 500.000 wanita di Indonesia terdeteksi telah mengidap kanker leher rahim setiap tahun, dan separuhnya meniggal akibat kanker tersebut. Data Departemen Kesehatan menyebutkan bahwa 70% pasien kanker leher rahim di Rumah Sakit datang sudah dalam keadaan stadium lanjut. Inilah yang membuat angka harapan hidup mereka dibawah 50% ketika memasuki perawatan rumah sakit (Putri, 2009).Di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2007 dijumpai 153 jumlah kasus kanker leher rahim dan pada tahun 2008 diperoleh 25 kasus kanker leher rahim. 
Berdasarkan latar belakang diatas peneliti merasa tertarik ingin mengetahui dan melakukan penelitian tentang faktor predisposisi yang behubungan dengan kejadian kanker leher rahim di RSUD. Dr. Pirngadi Medan Tahun 2009, terutama dalam menganalisis adanya hubungan anatara usia, usia pertama kali melakukan hubungan seksual, paritas, dan penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka lama. Penyakit kanker leher rahim banyak diderita oleh wanita Indonesia dan merupakan  presentase  tertinggi  dari jenis penyakit kanker yang ada (Setrayini, 2009).Departemen Kesehatan RI menyatakan bahwa sampai saat ini terdapat rata- rata bahwa 100 kasus kanker leher rahim setiap 100 ribu penduduk Indonesia per tahun. Sementara data Yayasan Kanker Indonesia (2007) menyebutkan angka yang lebih hebat, 500.000 wanita di Indonesia terdeteksi telah mengidap kanker leher rahim setiap tahun, dan separuhnya meniggal akibat kanker tersebut. 
Data Departemen Kesehatan menyebutkan bahwa 70% pasien kanker leher rahim di Rumah Sakit datang sudah dalam keadaan stadium lanjut. Inilah yang membuat angka harapan hidup mereka dibawah 50% ketika memasuki perawatan rumah sakit (Putri, 2009).Di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2007 dijumpai 153 jumlah kasus kanker leher rahim dan pada tahun 2008 diperoleh 25 kasus kanker leher rahim. Berdasarkan latar belakang diatas peneliti merasa tertarik ingin mengetahui dan melakukan penelitian tentang faktor predisposisi yang behubungan dengan kejadian kanker leher rahim di RSUD. Dr. Pirngadi Medan Tahun 2009, terutama dalam menganalisis adanya hubungan anatara usia, usia pertama kali melakukan hubungan seksual, paritas, dan penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka lama.
Kunjungi : Download KTI Kebidanan dan Keperawatan No 181

KTI HUBUNGAN KEJADIAN PARTUS PREMATUR DENGAN PARITAS DI KAMAR BERSALIN RSUD XXXXXXX

BAB I


PENDAHULUAN


 
1.2 Latar Belakang

Beberapa tahun belakangan ini partus prematur menjadi perhatian utama dalam  bidang   obstetrik,   karena   erat   kaitannya   dengan   morbiditas   dan mortalitas perinatal. Partus prematur merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas perinatal di seluruh dunia (Agustinafi, 2005).
Janin yang lahir secara prematur mempunyai risiko komplikasi yang sangat tinggi, sehingga risiko untuk terjadi asfiksia juga tinggi. Hal ini dikarenakan bayi sulit untuk menyesuaikan diri di luar rahim ibu yang disebabkan alat-alat tubuh bayi belum berfungsi secara maksimal seperti bayi yang lahir aterm. Semakin pendek usia kehamilan, alat-alat tubuh bayi semakin kurang sempurna, sehingga risiko komplikasi pada janin semakin tinggi. Dalam hal ini  kematian  perinatal  banyak  terjadi  pada  bayi  prematur  (Hanifa,  2002  : 312)

Tahun 2002 tercatat Angka Kematian Bayi (AKB) sebesar 13,02/1000 kelahiran  hidup,  dimana  20,51%  disebabkan  oleh  partus  prematur.  Tahun 2003 AKB sebesar 18,01/1000 kelahiran hidup dan 23,64% kematian disebabkan oleh partus prematur. Tahun 2004 AKB sebesar 27,62/1000 kelahiran hidup, dimana 38,57% penyebabnya adalah partus prematur (Yuli, 2004). Berdasarkan Data Dinas Kesehatan Jawa Timur Angka Kematian Bayi  tahun  2007  sebesar  26,9/1000  kelahiran  hidup  dimana  29%  kematian disebabkan oleh partus prematur (Dinkes Jatim, 2008)
Penyebab partus prematur masih sulit ditentukan, akan tetapi tampaknya mempunyai hubungan dengan status medis dan status sosial diantaranya kemiskinan, malnutrisi, ketergantungan obat, penyakit menular seksual, perokok dan kehamilan pada usia muda (Yuli, 2004). Selain itu, paritas juga merupakan faktor penyebab terjadinya partus prematur (Agustinafi, 2005).
Tahun 2005 Indonesia memiliki kejadian partus prematur sekitar 19% dimana 20% dari kelahiran tersebut disebabkan oleh faktor paritas. Wanita yang telah melahirkan lebih dari tiga kali mempunyai risiko 4 kali lebih besar mengalami partus prematur bila dibandingkan dengan wanita yang paritasnya kurang dari 3 (Agustinafi, 2005).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Buku Laporan Pasien di Kamar Bersalin   RSUD Gambiran Kota Kediri pada bulan Maret 2008 terdapat 11 persalinan prematur, 5 persalinan dengan paritas kurang dari 3 sedangkan 7 persalinan   dengan   paritas   lebih/sam dengan   3   menyebabkan   2   bayi meninggal .
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang hubungan kejadian partus prematur dengan paritas di RSUD Gambiran Kota Kediri periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2007.


Kunjungi : Download KTI Kebidanan dan Keperawatan No 180

KTI HUBUNGAN PERTAMBAHAN BERAT BADAN DENGAN MINAT AKSEPTOR KONTRASEPSI SUNTIK 3 BULANAN UNTUK MELANJUTKAN KONTRASEPSI SUNTIK 3 BULANAN DI DESA XXXXXX

BAB I

 PENDAHULUAN

 

1.1 Latar Belakang

Saat ini hampir 60% pasangan usia reproduktif di seluruh dunia menggunakan kontrasepsi sebagai pilihan untuk mencegah kehamilan. Dan kontrasepsi hormon merupakan kelompok kontrasepsi yang pemakaiannya berada pada urutan ketiga di seluruh dunia (Glasier, A. 2006).
Salah satu jenis kontrasepsi hormonal adalah kontrasepsi suntikkan. Terdapat dua jenis kontrasepsi suntikan yang digunakan, pertama adalah depot medroxyprogesteron acetate atau disingkat DMPA, dan dipasarkan dengan nama depo provera. Cara pemberiannya sangat sederhana yaitu dengan cara diinjeksikan ke dalam urat daging (intramuscular), dan disuntikan tiap 3 bulan sekali. KB ini akan efektif 100% jika diberikan secara benar. Jenis yang kedua adalah norethisterone oenanthate (NETEN), injeksi dilakukan tiap dua bulan sekali namun sediaan ini sudah tidak tersedia lagi. (Notohardjo, R. 2002)
Depo provera merupakan     kontrasepsi yang paling popular dan banyak peminatnya oleh karena aman, sederhana, efektif, tidak banyak menimbulkan gangguan dan privasi (tidak satupun orang kecuali pengguna tahu mengenai suntikan ini) meskipun terjadi perubahan perdarahan dan efek samping lain. (Speroff, L. 2005). Kenaikan berat badan merupakan salah satu efek samping yang sering dikeluhkan oleh para akseptor (Siswosudarmo, HR. 2001). Pertambahan berat badan yang terjadi sebesar 1-2 kg, kemudian menjadi stabil setelah pemakaian dilanjutkan tapi pada beberapa wanita terus mengalami pertambahan berat badan moderat selama mereka memakai metode tersebut (Glasier, A. 2006). Terjadinya kenaikan berat badan kemungkinan disebabkan karena  hormon progesteron  dalam kontrasepsi suntik   mempermudah perubahan karbohidrat dan gula menjadi lemak, sehingga lemak dibawah kulit bertambah, selain itu juga menyebabkan nafsu makan bertambah dan menurunkan aktifitas fisik (Depkes RI. 2002). Hasil penelitian Setyami, N (2006) sebanyak   36 orang (96,44%) akseptor kontrasepsi suntik 3 bulanan mengalami beberapa jenis efek samping dan 29 orang (80,56%) diantaranya mangalami pertambahan  berat badan.
Menurut hasil Susenas BKKBN tahun 2002 presentase PUS yang pernah menggunakan alat/ cara KB sebanyak 68,93 %, sedangkan presentase PUS yang sedang menggunakan alat/ cara KB (peserta KB aktif) sebesar 54,19 % dan hampir separuh dari jumlah tersebut yaitu 49,09 % menggunakan KB suntikan. Sedangkan menurut Susenas 2006 Jawa Timur, jumlah peserta KB suntik adalah 59,53 %, sementara untuk Kediri prosentasenya 56,56% dari semua jenis kontrasepsi yang digunakan. Dan prosentase ini terus meningkat dari tahun-tahun sebelumnya.
Dalam suatu penelitian internasional besar, alasan medis yang paling lazim untuk penghentian Depo Provera pada dua tahun pertama penggunaan adalah karena adanya peningkatan       berat badan yaitu sebesar 2,1 % dari seluruh alasan      penghentian   (Glassier, A. 2006).           Sementara  itu   angka ketidaklangsungan kontrasepsi suntik di Indonesia tercatat 29,1%, dan 15% dari jumlah tersebut dikarenakan adanya pertambahan berat badan (Tulader, J.1998), dan untuk Jawa Timur sebesar 24,3% (BPS Jawa Timur.2006). Berdasarkan data yang diperoleh selama praktek di Toyoresmi tgl 10-29 Maret    2008, jumlah peserta kontrasepsi suntik adalah 284 orang dan 231 orang diantaranya memakai kontrasepsi suntik 3 bulanan. Dari 25 orang akseptor yang ditanya, 21 orang mengalami perubahan berat badan sejak pertama kali menggunakan kontrasepsi suntik 3 bulanan .
Dengan latar belakang itulah penulis ingin mengetahui apakah ada hubungan antara pertambahan berat badan dengan minat akseptor kontrasepsi suntik untuk melanjutkan kontrasepsi suntik 3 bulanan di Desa Toyoresmi, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri.


Kunjungi : Download KTI Kebidanan dan Keperawatan No 179

KTI GAMBARAN PERAN BIDAN DALAM PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS XXXXXX

BAB I

 PENDAHULUAN
 


1.1 Latar Belakang

ASI  Ekslusif  adalah  pemberian  ASI  (air  susu  ibu)  sedini  mungkin setelah persalinan, diberikan tanpa terjadwal dan tidak diberi makanan lain walaupun air putih sampai bayi berumur 6 bulan. Setelah bayi berumur 6 bulan bayi diperkenalkan dengan makanan tambahan yang lain. Karena pada saat berumur 6 bulan sistem pencernakannya mulai matur. (Hubertin, S.P, 2004)
Menyusui secara ekslusif selain meningkatkan kesehatan   dan kepandaian secara optimal ASI juga membuat anak potensial, memiliki emosional yang stabil dan spiritual yang matang, serta memiliki perkembangan sosial yang baik.  Bayi  yang  mendapat  ASI  Eksklusif  6  bulan  frekuensi  terkena  diare sangat kecil. Berbeda dengan kelompok bayi yang diberi susu formula lebih sering mengalami diare. Dengan demikian kesehatan bayi yang mendapat ASI akan lebih baik bila dibanding dengan kelompok bayi yang diberi susu sapi. Keuntungan  ini tidak hanya diperoleh bayi tetapi juga dirasakan oleh ibu, keluarga dan negara. (Utami, R, 2000)
Bidan sebagai orang pertama yang melakukan pertolongan pertama pada persalinan mempunyai tanggung jawab pokok terhadap pelayanan kesehatan ibu dan anak, harus mampu menerapkan pemberian ASI Ekslusif. Peran bidan sebagai pelaksana dalam pemberian ASI Ekslusif antara lain mengajarkan ibu cara menyusui yang benar, pemberian ASI segera setelah lahir, menghindari penggunan dot, kebutuhan nutrisi saat menyusui dan managemen laktasi. Sedangkan peran bidan sebagai pendidik dalam pemberian ASI Ekslusif diantaranya adalah bidan mampu memberikan penyuluhan dan pemahaman terhadap ibu tentang pentingnya ASI Eksklusif sehingga ibu menyadari dan merasakan bangga dan bahagia serta prospek dalam menyusui bayinya. (Hubertin, S.P, 2004). Salah satu alasan pemberian ASI Eksklusif yang tidak berhasil adalah bidan yang memisahkan bayi dan ibunya begitu dilahirkan. Padahal menyusukan bayi segera setelah lahir akan membantu keberhasilan menyusui secara eksklusif. (Meutia, H, 2008).
Penelitian yang telah dilakukan oleh Sainur pada tahun 2006 tentang peran bidan dalam pemberian ASI segera di wilayah kerja dinas kesehatan kota Blitar. Dengan 30 responden diperoleh 11 orang yang berperan baik, 16 orang berperan  cukup dan 3 orang berperan kurang dalam pelaksanaan ASI segera. Peran  bidan  sebagai  pendidik  diperoleh  dari  30  responden  tersebut  8 responden berperan baik 17 responden cukup dan 4 responden kurang sedangkan 1 responden dengan peran sangat kurang.
Meskipun usaha untuk meningkatkan pemberian ASI Eksklusif sangat gencar dilakukan tapi pemberian ASI di Indonesia masih memprihatinkan. Hal tersebut tergambar dari cakupan pemberian ASI ekslusif 6 bulan hanya 39,5% dari  keseluruhan  bayi  dan  terdapat  peningkatan  pemakaian  susu  formula sampai 3 kali lipat antara 1997-2002. Berdasarkan data yang ada pada tahun 2002-2003 bayi dibawah usia 4 bulan yang diberi ASI ekslusif hanya 55% sementara itu pemberian  ASI ekslusif pada bayi usia 2 bulan hanya 64, 60 % pada bayi berusia 2-3 bulan dan 14% pada bayi 4-5 bulan (Meutia, H, 2008) Hasil praktek kerja lapangan di Desa Sumberejo Kecamatan Gampengrejo Kabupaten  Kediri  pada  tanggal  10-29  Maret  2008  peneliti  mendapati fenomena dari 43 bayi yang berumur 0-6 bulan didapat 33 bayi saja yang sudah  mendapat  ASI  Eksklusif  sisanya  tidak  mendapatkan  ASI  eksklusif dikarenakan ibunya bekerja dan kurangnya motivasi dan informasi dari tenaga kesehatan.  Berdasarkan  hal diatas peneliti  tertarik untuk    mengetahui bagaimanakah peran bidan dalam pemberian ASI Eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Ngasem Kecamatan Gampengrejo Kabupaten Kediri.


Kunjungi : Download KTI Kebidanan dan Keperawatan No 178